Estimated reading time: 5 minutes
Kasus Leopold dan Loeb pada tahun 1924 tanpa diragukan lagi merupakan salah satu kejahatan paling terkenal dalam sejarah kriminal Amerika. Pada saat itu, dua pemuda jenius dari keluarga kaya, yaitu Nathan Leopold Jr. dan Richard Loeb, mencoba melakukan apa yang mereka yakini sebagai “kejahatan sempurna” dengan menculik dan membunuh seorang anak berusia 14 tahun, Bobby Franks. Mereka meyakini bahwa kecerdasan dan status sosial mereka membuat mereka kebal terhadap hukum. Namun demikian, kesalahan kecil pada akhirnya mengungkap kebenaran dan membawa mereka ke pengadilan dalam sebuah kasus yang kemudian mengubah sistem hukum serta psikologi kriminal.
Table of contents
Latar Belakang Leopold dan Loeb
Siapa Nathan Leopold dan Richard Loeb?
Nathan Leopold Jr. (19 tahun) dan Richard Loeb (18 tahun) merupakan mahasiswa berbakat dari Universitas Chicago. Secara khusus, Leopold adalah seorang anak ajaib dengan IQ sangat tinggi dan menguasai berbagai bahasa. Selain itu, dia memiliki ketertarikan mendalam terhadap filsafat Friedrich Nietzsche, terutama konsep Übermensch atau “manusia super”—di mana individu superior tidak terikat oleh hukum moral masyarakat.
Sementara itu, Richard Loeb adalah pemuda kaya yang lebih suka mengambil risiko dan berfantasi tentang kejahatan. Ia terobsesi dengan Sherlock Holmes dan kisah kriminal, sering melakukan pencurian kecil-kecilan hanya untuk kesenangan.
Persahabatan Beracun dan Obsesi Kriminal
Leopold dan Loeb memiliki hubungan yang kompleks. Dalam konteks ini, Loeb sering memanipulasi Leopold, sementara Leopold pada akhirnya menyetujui permintaan Loeb untuk mempertahankan kedekatan mereka. Selain itu, obsesi mereka terhadap kejahatan dan keinginan untuk membuktikan diri sebagai Übermensch mendorong mereka untuk merencanakan apa yang mereka anggap sebagai “kejahatan sempurna.”
Pembunuhan Bobby Franks
Pada 21 Mei 1924, Leopold dan Loeb akhirnya melaksanakan rencana mereka. Pada saat itu, mereka menculik Bobby Franks, yang merupakan sepupu Loeb, dengan alasan memberinya tumpangan mobil. Segera setelah Franks masuk ke dalam mobil, Loeb tanpa ragu menyerangnya dengan pahat dan mencekiknya dengan kain.
Setelah melakukan pembunuhan tersebut, mereka membuang tubuhnya di sebuah gorong-gorong dekat Hammond, Indiana. Untuk lebih menyamarkan jejak, mereka mengirim surat tebusan kepada keluarga Franks, berpura-pura bahwa anak mereka masih hidup.
Namun demikian, sebuah kesalahan fatal terjadi—Leopold menjatuhkan kacamatanya di tempat kejadian. Akibatnya, polisi dengan cepat melacaknya karena model kacamata tersebut sangat langka.
Penyelidikan dan Penangkapan
Saat itu, polisi menemukan kacamata dan segera menghubungkannya dengan Leopold. Pada awalnya, Leopold dan Loeb memberikan alibi palsu, namun seiring berjalannya waktu, pernyataan mereka mulai bertentangan. Akhirnya, setelah interogasi ketat, mereka mengaku bersalah dan mengungkap motif mereka—yaitu hanya untuk membuktikan bahwa mereka mampu melakukan kejahatan tanpa tertangkap.
Tak lama kemudian, kasus ini segera menjadi sensasi nasional karena melibatkan dua pemuda kaya dengan kecerdasan tinggi yang membunuh tanpa motif yang jelas. Selain itu, tindakan mereka juga didorong oleh kesombongan intelektual mereka.
Persidangan dan Pembelaan Clarence Darrow
Kasus Leopold dan Loeb diadili pada 1924 dan dengan cepat menarik perhatian media secara luas. Selama proses persidangan, pengacara terkenal Clarence Darrow mengambil alih pembelaan dengan tujuan utama, yaitu menghindari hukuman mati untuk kliennya.
Dalam pembelaannya, Darrow menekankan bahwa kedua terdakwa masih sangat muda dan memiliki gangguan psikologis. Lebih dari itu, ia juga berargumen bahwa hukuman mati tidak akan membawa manfaat bagi masyarakat, dan bahwa masyarakat seharusnya lebih fokus pada rehabilitasi dibandingkan hukuman brutal.
Akibat dari pembelaannya yang kuat, pidato Darrow selama 12 jam dianggap sebagai salah satu pembelaan hukum paling berpengaruh dalam sejarah. Sebagai konsekuensinya, hakim akhirnya menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup ditambah 99 tahun untuk keduanya.
Nasib Leopold dan Loeb Setelah Persidangan
- Richard Loeb terbunuh di penjara pada tahun 1936 akibat serangan seorang narapidana.
- Nathan Leopold dibebaskan bersyarat pada tahun 1958 setelah menjalani lebih dari tiga dekade di penjara. Ia kemudian pindah ke Puerto Rico, di mana ia menjalani kehidupan baru hingga meninggal pada tahun 1971.
Dampak Kasus Leopold dan Loeb
Secara keseluruhan, kasus ini memiliki dampak yang luas dalam berbagai aspek.
1. Psikologi Kriminal
- Kasus ini menjadi studi penting dalam profil psikologis pelaku kejahatan.
- Menunjukkan bahwa motif kejahatan bisa bersifat non-ekonomi, seperti narsisme dan ideologi.
2. Perubahan dalam Sistem Hukum
- Pidato Clarence Darrow menjadi contoh utama pembelaan terhadap hukuman mati.
- Kasus ini memperkuat pentingnya evaluasi psikologis terdakwa dalam sistem peradilan.
3. Inspirasi dalam Budaya Populer
Kasus Leopold dan Loeb menginspirasi berbagai karya fiksi, termasuk:
- “Rope” (1948) – Film karya Alfred Hitchcock yang didasarkan pada kasus ini.
- “Compulsion” (1959) – Film yang menggambarkan peristiwa ini secara lebih detail.
- Berbagai novel, drama, dan penelitian akademis yang membahas psikologi kejahatan.
Kesimpulan
Tanpa diragukan lagi, kasus kejahatan paling sempurna oleh pemuda jenius asal USA adalah contoh ekstrem dari bagaimana kecerdasan yang tidak terkendali oleh moral dapat berujung pada tragedi. Pada awalnya, mereka percaya bahwa mereka bisa melakukan “kejahatan sempurna,” namun pada kenyataannya, kesombongan mereka menjadi kejatuhan mereka sendiri.
Penutup
Bahkan jika dipandang dari segi agama, cerita yang beredar baik di media official dan non-official. Dalam kasus ini, perilaku 2 pemuda jenis bisa dianggap relevan dengan konsep tujuh dosa besar dalam agama Kristen. Beberapa dosa yang paling relevan antara lain:
-
Kesombongan (Pride)
Mereka percaya bahwa mereka adalah Übermensch, manusia superior yang berada di atas hukum dan moralitas biasa. Mereka berpikir bahwa kecerdasan mereka membuat mereka kebal dari konsekuensi hukum. -
Iri Hati (Envy)
Keinginan untuk merasa lebih hebat mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang tak bisa dilakukan orang lain. -
Ketamakan (Greed)
Mereka ingin merasakan sensasi menentukan nasib orang lain dan menunjukkan bahwa mereka bisa melakukan kejahatan tanpa tertangkap. -
Kerakusan (Gluttony)
Mereka awalnya hanya melakukan kejahatan kecil, tetapi terus meningkatkan intensitasnya hingga mencapai titik ekstrem, yaitu pembunuhan.
Lebih dari itu, kejahatan ini tidak hanya mengguncang Amerika tetapi juga meninggalkan warisan yang terus dipelajari dalam dunia hukum dan psikologi kriminal. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, apakah benar ada kejahatan yang sempurna? Faktanya, sejarah membuktikan bahwa kesalahan sekecil apa pun bisa menjadi kunci terbongkarnya kejahatan terbesar.
NOTES
semua gambar hanya illustrasi dan dibuat mirip sedemikan rupa.